Aku menatapnya sekali lagi. Menurut penilaianku sebagai seorang perempuan, dia tak begitu cantik. Tapi dengan gigi gingsul di rahang kiri atas membuat senyumannya begitu mempesona. Selalu saja membuatku iri, karena aku juga ingin sekali mempunyai gingsul sepertinya. Harus ku akui itu. Ia termasuk orang yang ramah, setiap keluar rumah dan melewati kerumunan kami yang sedang latihan kesenian daerah –randai- di halaman rumahnya, ia selalu tersenyum, sesekali menyapa pak pelatih kami.
Rambutnya panjang semampai, boleh dikatakan dialah “Rapunzel’ masa kini. Rambutnya sampai mata kaki. Jarang sekali perempuan muda mau memanjangkan rambutnnya sampai seperti itu. Aku saja tak mau. Ogah.
Tapi kurasa saat kalian melihatnya, kalian tak akan percaya kalau rambutnya bagaikan Rapunzel, karena jika akan bepergian kemanapun, ia selalu memakai kupluk, dan meyelipkan rambut panjangnya disana. Meninggalkan sedikit bagian ujung yang terurai. Membuat rambutnya terkesan pendek. Sekali waktu ia tergesa gesa hendak pergi, aku melihatnya sedang memasang kupluk sambil berjalan menuju teman laki laki yang telah menjemputnya. Rambutnya dijepit dan sisanya terurai sampai punggungya. Satu hal yang membuatku kagum padanya.
Aku juga suka style yang ia pakai, se-pengelihatan-ku ia tak pernah memakai barang barang yang branded. Mengingat itu bisa saja terjadi jika dilihat dari rumahnya yang besar dan halamannya yang sangat luas. Hingga mampu menampung kami untuk menumpang latihan kesenian disini. Dengan baju yang selalu lebih besar satu ukuran, lagging-stoking warna hitam atau coklat yang selalu ia pakai serta sepatu kets atau bots-nya, membuatnya terlihat seperti muda mudi Jepang atau Korea. So cute.
Tapi satu hal yang tak aku suka darinya. Setiap kali pulang kuliah di hari kamis, hari dimana aku selalu latihan kesenian di halaman rumahnya, selain hari Sabtu. Ia selalu saja diantar oleh laki laki yang berbeda. Mungkin dia seorang pemain hati, seorang player, itu opiniku. Jika tidak, pasti ia hanya akan diantar oleh satu laki laki saja, pacarnya.
Rambutnya panjang semampai, boleh dikatakan dialah “Rapunzel’ masa kini. Rambutnya sampai mata kaki. Jarang sekali perempuan muda mau memanjangkan rambutnnya sampai seperti itu. Aku saja tak mau. Ogah.
Tapi kurasa saat kalian melihatnya, kalian tak akan percaya kalau rambutnya bagaikan Rapunzel, karena jika akan bepergian kemanapun, ia selalu memakai kupluk, dan meyelipkan rambut panjangnya disana. Meninggalkan sedikit bagian ujung yang terurai. Membuat rambutnya terkesan pendek. Sekali waktu ia tergesa gesa hendak pergi, aku melihatnya sedang memasang kupluk sambil berjalan menuju teman laki laki yang telah menjemputnya. Rambutnya dijepit dan sisanya terurai sampai punggungya. Satu hal yang membuatku kagum padanya.
Aku juga suka style yang ia pakai, se-pengelihatan-ku ia tak pernah memakai barang barang yang branded. Mengingat itu bisa saja terjadi jika dilihat dari rumahnya yang besar dan halamannya yang sangat luas. Hingga mampu menampung kami untuk menumpang latihan kesenian disini. Dengan baju yang selalu lebih besar satu ukuran, lagging-stoking warna hitam atau coklat yang selalu ia pakai serta sepatu kets atau bots-nya, membuatnya terlihat seperti muda mudi Jepang atau Korea. So cute.
Tapi satu hal yang tak aku suka darinya. Setiap kali pulang kuliah di hari kamis, hari dimana aku selalu latihan kesenian di halaman rumahnya, selain hari Sabtu. Ia selalu saja diantar oleh laki laki yang berbeda. Mungkin dia seorang pemain hati, seorang player, itu opiniku. Jika tidak, pasti ia hanya akan diantar oleh satu laki laki saja, pacarnya.
Hari ini, kamis. Entah minggu keberapa sejak aku latihan randai di halaman rumahnya. Aku baru sampai. Aku melihat mobil jeep hitam terpakir di teras rumah yang besar itu. Aku mengenalinya. Itu mobil kak Tama, kakak laki lakiku. Oh, aku mengerutkan keningku, pikiran ku mulai melantur kemana mana. Mungkinkah kakakku itu salah satu selingkuhannya? Salah satu orang yang ia permainkan? Mengingat selalu saja ia diantar pulang oleh orang yang berbeda selama beberapa minggu terakhir ini. Aku menerawang lagi, apa yang dilakukan kak Tama disini? Aku mengeluarkan ponselku, mengirimkan pesan singkat untuknya.
Are you here?
Sent!
Sent!
Beberapa detik kemudian hpku bergetar, mengalunkan lagu common deminiator milik Justin bieber.
Here? Dimana maksudnya?, Pesan singkat balasan dari kak Tama.
Di rumah cat putih yang lagi ada jeep hitamnya.
Sent!
Sent!
Beberapa detik, hpku berdering lagi.
Hmm? Di rumah Kania? Ngapain kamu disini? pesan dari kak Tama lagi.
Kania? Jadi perempuan yang sering ku lihat dan sedikit ku kagumi itu namanya Kania. Aku bergumam pelan.
Ya aku disini, keluarlah cepat!
Sent!
Sent!
Beberapa detik berikutnya, aku melihat sosok laki laki yang amat kukenali keluar dari rumah becat putih itu. ah, benar saja. Kak Tama menyunggingkan senyum menatap kearahku, mungkin ia terkejut kenapa aku bisa disini. Ia mendekat.
“kenapa kamu bisa ada disini?” kak Tama bersuara, ia kini telah berdiri tepat di depanku.
“aku yang harus bertanya. Apa yang kakak lakukan disini?” aku balik bertanya tak menjawab apa yang kak Tama tanyakan. kurasa pikiranku lebih berkecamuk dari pada pikiran kak Tama. Aku sungguh tak rela jika kakak laki laki ku ini menjadi salah satu orang yang dipermainkan oleh Kania. Kak tama pernah bilang kalau ia memang punya pacar, tapi ia tak menyebutkan namanya padaku, nanti saja saat dia ku ajak ke rumah kalau dia mau. Itu jawabanya. Tapi ia pernah bilang kalau pacarnya itu berambut pendek sebahu. Eh, tentu saja. Kania bisa memanipulasi penglihatan orang lain tentang rambutnya bukan?
“Disini ru…” Kak Tama belum sempat menyelesaikan kalimatnya ketika sebuah suara yang lumayanku kenali menyapa dari arah belakangku.
“Tama, kenapa diluar?” ia melewatiku berdiri tepat di sebelah kak Tama. Sepertinya ia baru dari kedai yang ada di perempatan jalan setapak menuju rumahnya. Ada dua kantong plastik berisi penuh makanan ringan.
Ia mengikuti arah mata kak Tama, menatap dengan mata coklatnya kearahku.
“Hey, kamu mengenal adik ini Tam” ia beralih menatap kak Tama. Menunggu jawaban.
“Tentu, dia adikku. Shan. Kamu mengenalnya?.” Kak Tama kini mengalihkan tatapannya pada Kania. Membuat pikiranku makin menerawang tak jelas, melihat mereka bersitatap di depanku.
“Tentu, dia selalu latihan randai dua kali seminggu disini. Aku sering melihat, tapi aku tak tahu namanya. Rupanya dia adikmu. Aku Kania.” ia mengulurkan tanganya padaku di akhir penjelasannya kepada kak Tama.
Aku menerima uluran tanganya menyebutkan namaku. Lalu melepaskan dengan kasar. Aku mengusap wajah dengan sebelah tangan, tangan yang sebelahnya ku letankkan di pinggang, berkacak.
“Dia pacar kakak heh?” pertanyaan itu mengucur begitu saja dari mulutku. Tapi tak apa, saaat ini aku memang sangat ingin menanyakannya. Aku tak ingin kakakku terjebak dalam permainan Kania. Tentu.
Mereka kembali saling bersitatap, menyunggingkan senyum di bibir masing masing. Membuatku makin yakin kalau mereka berdua memang ada hubungan. Sepasang kekasih.
“kenapa kamu bisa ada disini?” kak Tama bersuara, ia kini telah berdiri tepat di depanku.
“aku yang harus bertanya. Apa yang kakak lakukan disini?” aku balik bertanya tak menjawab apa yang kak Tama tanyakan. kurasa pikiranku lebih berkecamuk dari pada pikiran kak Tama. Aku sungguh tak rela jika kakak laki laki ku ini menjadi salah satu orang yang dipermainkan oleh Kania. Kak tama pernah bilang kalau ia memang punya pacar, tapi ia tak menyebutkan namanya padaku, nanti saja saat dia ku ajak ke rumah kalau dia mau. Itu jawabanya. Tapi ia pernah bilang kalau pacarnya itu berambut pendek sebahu. Eh, tentu saja. Kania bisa memanipulasi penglihatan orang lain tentang rambutnya bukan?
“Disini ru…” Kak Tama belum sempat menyelesaikan kalimatnya ketika sebuah suara yang lumayanku kenali menyapa dari arah belakangku.
“Tama, kenapa diluar?” ia melewatiku berdiri tepat di sebelah kak Tama. Sepertinya ia baru dari kedai yang ada di perempatan jalan setapak menuju rumahnya. Ada dua kantong plastik berisi penuh makanan ringan.
Ia mengikuti arah mata kak Tama, menatap dengan mata coklatnya kearahku.
“Hey, kamu mengenal adik ini Tam” ia beralih menatap kak Tama. Menunggu jawaban.
“Tentu, dia adikku. Shan. Kamu mengenalnya?.” Kak Tama kini mengalihkan tatapannya pada Kania. Membuat pikiranku makin menerawang tak jelas, melihat mereka bersitatap di depanku.
“Tentu, dia selalu latihan randai dua kali seminggu disini. Aku sering melihat, tapi aku tak tahu namanya. Rupanya dia adikmu. Aku Kania.” ia mengulurkan tanganya padaku di akhir penjelasannya kepada kak Tama.
Aku menerima uluran tanganya menyebutkan namaku. Lalu melepaskan dengan kasar. Aku mengusap wajah dengan sebelah tangan, tangan yang sebelahnya ku letankkan di pinggang, berkacak.
“Dia pacar kakak heh?” pertanyaan itu mengucur begitu saja dari mulutku. Tapi tak apa, saaat ini aku memang sangat ingin menanyakannya. Aku tak ingin kakakku terjebak dalam permainan Kania. Tentu.
Mereka kembali saling bersitatap, menyunggingkan senyum di bibir masing masing. Membuatku makin yakin kalau mereka berdua memang ada hubungan. Sepasang kekasih.
Sekian detik berlalu, mereka masih tersenyum dengan posisi yang sama. Tak berniat sama sekali untuk menjawab pertanyaanku, sepertinya.
Ehem. Aku berdehem. Membuat perhatian mereka kini tertuju padaku.
“Kalian pacaran?” aku mengulang pertanyaanku. Tapi sama seperti sebelumnya, mereka sama sekali tak menjawab. Membuatku kesal.
“Aku ngak suka kalau kak Tama pacaran sama dia.” Kaliamat itu lagi lagi mengucur begitu saja dari mulutkku. Kini keduanya ternganga di depanku.
“Dia itu player. Dia suka pulang diantar cowok yang berbeda tiap pulang kuliah, dan aku ngak mau kak Tama jadi salah satu korbannya dia.” Aku menambahkan lagi. Emosiku memuncak, karena mereka berdua tak jua hendak menjawab pertanyaanku. Nafasku sedikit sesak.
“Aku bukan pacarnya kok.” Suara Kania membuatku sedikit mendongak menatapnya. Ia lebih tinggi dariku. Mungkin sepuluh senti. Tak ada ekspresi marah disana. Malah suaranya itu amat lembut.
Dia tersenyum ketika ia sadar mataku kini menatapnya intens.
“Bukan? Lalu kenapa kak Tama disini?” aku tak percaya apa yang ia katakan. Sungguh. Kurasa senyumnya barusan juga palsu.
“Kami hanya berteman, Shan.” Kini suara kak Tama.
“Aku ngak percaya. Mana ada laki laki yang datang ke rumah perempuan kalau bukan pacarnya.” Aku mendengus sebal. Kak Tama pikir aku ini bisa ditipu begitu saja seperti anak kecil? Aku sudah besar dan tentu aku amat mengerti hal seperti ini.
“Aku…” aku ingin melanjutkan semua opiniku yang akan menjatuhkan Kania, ketika pintu rumah Kania terbuka menampilkan seorang perempuan muda, berambut pendek sebahu. Dia tersenyum ke arah kami yang sepenuhnya telah menatapnya. Ia berjalan mendekat.
“Tam, adik kamu perhatian banget ya? Ngak nyesel deh punya pacar kayak kamu.” Ia bergelayut manja menggantungkan kedua tangan di pundak kak Tama di akhir kalimatya. Sukses membuat jantungku hampir keluar, tercekat di kerongkongan. Pacar?
Aku melongo menatapnya, mulutku pun terbuka lebar, menampilkan tampang paling idiot. Damn!
Mereka bertiga tersenyum kepadaku yang masih dengan tampang super idiot itu. Cepat cepat aku menundukkan kepala. Menyembunyikan wajahku yang mulai memerah melebihi merahnya buah tomat. Malu.
Kak Tama mengusap lembut kepalaku. Memberikan perhatian. Tentu ia menyadari posisiku saat ini.
Aku bergumam lirih, kembali mendongak menatap Kania.
“maaf, aku salah sangka. Maaf.”
Kania tersenyum, mengangguk. “Tentu” Kemudian berlalu masuk ke dalam rumahnya.
Kembali sukses membuatku terpana melihanya. Malu.
Ehem. Aku berdehem. Membuat perhatian mereka kini tertuju padaku.
“Kalian pacaran?” aku mengulang pertanyaanku. Tapi sama seperti sebelumnya, mereka sama sekali tak menjawab. Membuatku kesal.
“Aku ngak suka kalau kak Tama pacaran sama dia.” Kaliamat itu lagi lagi mengucur begitu saja dari mulutkku. Kini keduanya ternganga di depanku.
“Dia itu player. Dia suka pulang diantar cowok yang berbeda tiap pulang kuliah, dan aku ngak mau kak Tama jadi salah satu korbannya dia.” Aku menambahkan lagi. Emosiku memuncak, karena mereka berdua tak jua hendak menjawab pertanyaanku. Nafasku sedikit sesak.
“Aku bukan pacarnya kok.” Suara Kania membuatku sedikit mendongak menatapnya. Ia lebih tinggi dariku. Mungkin sepuluh senti. Tak ada ekspresi marah disana. Malah suaranya itu amat lembut.
Dia tersenyum ketika ia sadar mataku kini menatapnya intens.
“Bukan? Lalu kenapa kak Tama disini?” aku tak percaya apa yang ia katakan. Sungguh. Kurasa senyumnya barusan juga palsu.
“Kami hanya berteman, Shan.” Kini suara kak Tama.
“Aku ngak percaya. Mana ada laki laki yang datang ke rumah perempuan kalau bukan pacarnya.” Aku mendengus sebal. Kak Tama pikir aku ini bisa ditipu begitu saja seperti anak kecil? Aku sudah besar dan tentu aku amat mengerti hal seperti ini.
“Aku…” aku ingin melanjutkan semua opiniku yang akan menjatuhkan Kania, ketika pintu rumah Kania terbuka menampilkan seorang perempuan muda, berambut pendek sebahu. Dia tersenyum ke arah kami yang sepenuhnya telah menatapnya. Ia berjalan mendekat.
“Tam, adik kamu perhatian banget ya? Ngak nyesel deh punya pacar kayak kamu.” Ia bergelayut manja menggantungkan kedua tangan di pundak kak Tama di akhir kalimatya. Sukses membuat jantungku hampir keluar, tercekat di kerongkongan. Pacar?
Aku melongo menatapnya, mulutku pun terbuka lebar, menampilkan tampang paling idiot. Damn!
Mereka bertiga tersenyum kepadaku yang masih dengan tampang super idiot itu. Cepat cepat aku menundukkan kepala. Menyembunyikan wajahku yang mulai memerah melebihi merahnya buah tomat. Malu.
Kak Tama mengusap lembut kepalaku. Memberikan perhatian. Tentu ia menyadari posisiku saat ini.
Aku bergumam lirih, kembali mendongak menatap Kania.
“maaf, aku salah sangka. Maaf.”
Kania tersenyum, mengangguk. “Tentu” Kemudian berlalu masuk ke dalam rumahnya.
Kembali sukses membuatku terpana melihanya. Malu.
0 komentar:
Posting Komentar