cerpen Love Take A Hurt

Semburat cahaya jingga masuk melalui jendela kamarku yang berada di lantai dua. Senja. Senja telah tiba menyapaku yang sedang merebahkan badanku di atas kasur sambil menatap langit-langit kamarku yang bewarna putih.
Ting.. ting…
Nada handphoneku yang menandakan pesan masuk, berbunyi. Aku suka suara sederhana itu. ketika suara itu berbunyi, seakan jantungku berdebar kencang, pipiku merona dan senyum tiba-tiba tersungging di bibirku. Kemudian aku segera mengambil benda yang berbunyi tersebut, yang kuletakkan di atas meja rias, yang berada di samping kasurku.
Kali ini debar jantungku seakan berdebar santai. Pipi meronaku dan senyum yang telah tersungging itu menghilang, dan berganti dengan kerutan yang terbentuk di dahiku. Kali ini pesan masuk tersebut dari operator kartu ponsel yang kugunakan. Promo-promo memang terdengar cukup menarik untuk para pelanggan kartu ponsel, tapi tidak untukku. Ada hal yang lebih menarik dibandingkan dengan promo dari kartu ponsel.
Setelah membuka sms yang masuk, aku pun menurunkan skroll handphoneku. Kotak masukku telah berjumlah sekitar 350 sms, padahal baru beberapa hari yang lalu aku menghapus pesan-pesan tersebut. Tidak terlalu beragam nama dalam kotak masukku. Tapi yang paling dominan muncul adalah nama “Gevan Radjata”.
Gevan adalah kakak kelasku sewaktu SMA yang saat ini sudah kuliah semester dua. Sebelumnya, walau aku satu SMA dengannya, aku tidak terlalu tahu tentangnya.. Aku mulai akrab dengannya sekitar setahun yang lalu saat dia naik ke kelas tiga dan aku naik ke kelas dua.
Aku mengenalnya dari facebook yang saat itu sedang menjadi tren. Gevan menambahkanku sebagai teman facebooknya dan aku mengonfirmasikan permintaannya tersebut. Melalui facebook kami memulai perbincangan. Lama-kelamaan kami mulai merasa nyaman hingga akhirnya Gevan meminta nomor handphoneku, dan aku memberikan nomorku kepadanya.
Facebook selalu menyediakan informasi pribadi secara lengkap jika para pengggunanya mengisi form secara keseluruhan. Gevan nampaknya bukan orang yang suka menulis segalanya di Facebook. Terbukti hanya ada beberapa informasi yang tertera seperti nama, tanggal lahir, sekolah, minat dan status.
in a relationship with “Aliya Amandita” Status facebook Gevan membuatku sedikit menelan ludah saat pertama kali aku mengonfirmasi pertemanannya. “Duh, sayang udah punya pacar.” Gumamku dalam hati.
Aku perhatikan, Aliya yang ternyata juga kakak kelasku itu juga jarang bertegur sapa dengannya di Facebook. Mungkin mereka memang pasangan yang tidak suka mengumbar kemesraan di depan publik, atau mereka bukan pasangan yang suka bermesra-mesraan. Entahlah.
Seiring berjalannya waktu, aku dan Gevan semakin akrab. Kami saling curhat satu sama lain. entah itu tentang keluarga, teman atau hubungan Gevan dengan Aliya. Aku seakan menemukan teman curhat baru, begitupun juga Gevan. Berbeda dengan Vera, sahabatku yang sering keceplosan di depan orang lain, Gevan seakan bisa menyimpan dengan rapi curhatan-curhatan yang aku curahkan kepadanya.
Warung Bude Jum 14:30 WIB
Warung Bude Jum merupakan warung sederhana yang dimiliki seorang wanita berumur sekitar empat puluhan. Warung tersebut berada di kawasan Blok M, hanya beberapa meter dari sekolahku. Warung Bude Jum menyediakan menu-menu unik yang nikmat dengan harga murah sehingga banyak anak sekolah yang mampir dan bersantai-santai di sana.
Dari kejauhan aku melihat seorang lelaki mengenakan kaos berkerah warna merah tua dengan celana jeans biru dan separt converse hitam terlihat duduk sambil sibuk melahap mie rebus dengan segelas es jeruk. Tiba-tiba lelaki tersebut menghentikan suapannya dan berteriak ke arahku.
“Sashi!” Teriaknya.
Aku segera menghampiri lelaki yang meneriaki namaku. “Kamu sudah di sini. Maaf ya aku telat, tadi ada rapat OSIS sebentar.”
“Oh iya, gak apa-apa. Eh aku udah pesen mie duluan, soalnya udah laper banget. Kamu mau pesen juga?” tanya Gevan kepadaku.
Aku segera duduk dan meletakan tas serta bukuku di atas meja. “Aku pesan es cappucino aja deh, belum lapar.”
Setelah menerima pesananku, Bude Jum segera membuatkannya dan kemudian seorang pelayan mengantarnya ke mejaku.
“Aku capek Shi.” Gevan menatap wajahku yang berada di hadapannya.
Aku mengernyitkan dahi dan meletakkan kembali gelas yang berisi es cappucino yang sudah tersaji. “Capek kenapa?”
Gevan mengambil napas dan menghembuskannya kembali. “Aku capek dengan hubunganku dan Aliya. Seperti sudah tidak ada kecocokan antara kami berdua.”
Apa kali ini yang ku dengar? Gevan sudah letih menjalin hubungan dengan Aliya. Haruskah aku perlihatkan senyum yang sangat ingin kukembangkan? Kemudian berkata “dari saat pertama kenal denganku, memang seharusnya kamu bersamaku.” gumamku.
Aku dengan susah payah mengatur ekspresi wajahku agar Gevan tidak tahu apa yang sebenarnya aku rasa. Sungguh sulit. Tapi aku tidak ingin Gevan tahu, bahwa aku sangat bahagia mendengar kabar tersebut.
“Sudah tidak cocok? Memangnya kamu kira, pacaran itu kayak pakai baju? Ketika kamu ngerasa gak cocok, kamu ganti terus beli yang baru.”
Gevan hanya tertegun dan menunduk. Dia berusaha mengeluarkan kata-kata tapi nampaknya ia bingung memulai dari mana. “Terkadang ada sesuatu hal yang kamu rasa, tapi sulit untuk kamu ungkapkan. Bukan begitu, Shi?”
“Iya, aku setuju. Dan gak semua hal yang kamu rasa, harus kamu ungkapkan.” Aku kembali meminum es yang nampaknya hampir habis.
“That’s right. Aku selalu suka bercerita banyak hal kepadamu.” Mie rebus gevan sudah habis, begitupun dengan es jeruknya. “Jadi menurut pandanganmu gimana? Hubunganku dengan Aliya masih pantas dipertahankan? Aku capek harus menuruti segala aturan-aturannya.”
“Aturan? Aturan yang kayak gimana?” aku bersusah payah mengatur ekspresi agar nampak antusias mendengarkan cerita Gevan tentang hubungannya dengan Aliya yang menurutku sangat membosankan. Lebih membosankan dari pelajaran sejarah yang selalu membuat mataku ingin terpejam. Bisakah kita hanya membicarakan hal-hal tentang aku dan kamu tanpa dia di antaranya?
“Ya, aturan yang melarang aku supaya gak terlalu sering main sama teman-teman klub bolaku, gak keluar malem, terus dia juga sering nolak pas aku ajak jalan dengan alasan ada tugas kuliah-lah, rapat antar fakultas, atau kegiatan akademis yang katanya gak bisa diganggu”.
Jujur, aku tidak begitu menanggapi pembicaraan Gevan. Namun, mau tidak mau aku harus berpura-pura bahwa aku peduli agar aku bisa lebih lama bersamanya.
“Mungkin dia ngelakuin itu semua, karena dia sayang sama kamu. Dia merasa hal-hal yang dia lakukan itu adalah yang terbaik untukmu. Aku rasa kamu sama Aliya pasangan yang serasi. Sayang kalo hubungan yang udah sekitar dua tahun harus kandas gitu aja karena kamu gak suka sama aturan-aturannya.” Bagai musang berbulu domba. Atau, sudah adakah bulu domba di sekujur tubuhku? Aku bak peri yang ingin menyelamatkan suatu hubungan yang sebenarnya selalu kunantikan kehancurannya. Sungguh ironisnya musang ini.
“Aturan mana yang terbaik buat aku Shi? Rasanya semua aturan itu seperti mencekik leherku dengan seutas tali yang tipis namun mematikan.”
“Kenapa gak didiskusikan berdua terlebih dahulu?”
“Aliya bukan tipe wanita yang suka berdiskusi dengan lelaki seperti aku. Kalau kamu jadi Aliya, pacarku, apa yang akan kamu lakukan terhadaku Shi?”
Pertanyaan konyol macam apa itu? kalau aku jadi pacarmu? Tentu saja aku akan membawamu ke bulan, agar aku bisa memilikimu seutuhnya, melakukan hal-hal kegemaran kita dan tentu saja, menjauhkanmu dari Aliya.
“Kalau aku jadi Aliya?” aku berpikir sejenak sambil membayangkan hal lain yang tiba-tiba saja muncul di kepalaku. “Kalau aku jadi Aliya – entahlah.. aku gak tahu apa yang aku lakukan. Karena aku gak pandai untuk membayangkan jika aku menjadi seseorang.”
Gevan menghela napas dan memasang raut wajah yang tidak terlalu menyenangkan. Nampaknya dia kecewa dengan jawabanku. Namun aku tidak ingin berandai-andai terlalu jauh untuk membayangkan jika aku menjadi Aliya, atau lebih tepatnya menjadi pacar Gevan.
“Huft.. Ya sudahlah. Aku rasa kita dapat mengobrol lewat sms atau telepon. Aku tidak tega melihat wajah pelajar pulang sampai malam dengan seragam yang melekat dan buku-buku tebal di tangan.” Ujar Gevan dengan nada yang seperti menggodaku.
Gevan kemudian mengantarku pulang dengan motornya sampai ke depan rumahku. Aku menawarinya untuk mampir sebentar, namun dia menolak dan berkata dia harus menjemput Aliya di kampusnya. Sungguh menjengkelkan.
Haruskah merasa salah di diriku,
Bila mencintaimu yang tlah berdua,
Seolah aku perawan cinta yang haus kasih…
-Rosa-
Lagu tersebut bersenandung melalui earphoneku yang tersambung dengan ipod. Bahkan Ipodku saja seperti sedang menyindirku dengan memutarkan lagu tersebut.
Aku pun membuka sebuah bloknot yang biasa kugunakan untuk mencatat potongan lirik lagu serta kata-kata yang terkadang mucul di pikiranku begitu saja. Aku ingin mencatat lirik lagu yang barusan kudengar. Tiba-tiba saja aku mendapatkan sebuah tulisan yang tidak pernah kutulis sebelumnya.
A girl with a cup of cappucino,
Calm, quite, and so friendly,
I think, I see the twilight in her eyes
-Gevan Radjata-
Aku tertegun ketika menemukan kata-kata yang tertulis di halaman bloknotku itu. Kapan Gevan menulis kalimat itu di bloknotku? Aku berusaha mengingatnya dan setelah beberapa menit, aku teringat bahwa aku meletakan bloknot tersebut di atas buku-buku yang kuletakkan di samping tasku, yang berada di atas meja. Dan aku sempat pergi ke toilet. Mungkin saat itulah Gevan menulis di bloknotku.
Aku ingin selalu bersamamu dan memilikimu
Bukan hanya sekadar sebagai teman curhatmu,
Teman yang selalu mendengarkan keluh-kesahmu dengannya
Aku cemburu ketika kau bercerita banyak hal tentangnya.
Andai kau tahu apa yang kurasakan sesungguhnya.
Andai aku bisa mengungkapkannya dengan mudah kepadamu
Andai kau tak bersama dia
Andai kau menjadi milikku
-Mirantika Sashi-
Kutuliskan kalimat-kalimat yang tiba-tiba saja berlalu di kepalaku ke dalam bloknot. Mirantika Sashi, itu nama lengkapku. Namun aku lebih nyaman dengan panggilan Sashi, walaupun beberapa ada yang memanggilku Miranti.
Sudah beberapa hari sejak aku dan Gevan bertemu di warung Bude Jum, Gevan selalu menceritakan tentang hubungannya dengan Aliya. Kedengarannya lelaki ini mulai jenuh dengan hubungannya.
Jangan tanya padaku tentang perasaanku saat aku mendengar keluh kesahnya terhadap sifat Aliya. Kejenuhan yang aku kira sudah menjadi parah, seakan membawa berkah untukku. Selain curhat tentang Aliya, dia juga terus mengirimkan pesan untuk menanyakan keadaanku atau menelponku untuk sekadar menggangguku. Tapi tentu saja aku tidak pernah merasa terganggu oleh ulahnya.
Kini aku semakin sadar bahwa aku telah berada di antara mereka, atau lebih tepatnya berada di antara kejenuhan hubungan mereka. Aku tak pernah menginginkan peran ini tentunya. Aku dan Gevan hanya teman curhat yang merasa nyaman untuk berbagi cerita secara pribadi satu sama lain. Lantas, salahkah jika di antara kami saling menjatuhkan hati? Apa manfaatnya dari mempertahankan hubungan yang menjenuhkan? Apa gunanya menyimpan sesuatu yang sudah mulai layu, jika kita sudah menemukan sesuatu yang segar?
Sepulang sekolah hari ini, aku menghabiskan waktuku di teras rumah. Menikmati hijaunya tanaman yang selalu dirawat dengan baik oleh ibu dan tentunya menikmati hangatnya sinar mentari sore yang dibalut langit yang tertoreh warna jingga keemasan.
Senja, aku menyukaimu. Tentunya aku masih ingat sejak kapan aku menyukaimu. Aku menyukaimu saat pertama kali aku bertemu secara langsung dengan Gevan. Kala itu, dia masih menjadi kakak kelasku di SMA, tentunya sudah berpacaran dengan Aliya. Kala itu senja menjadi saksi saat pertama dia berkata “Hai! Kamu Sashi kan? Wah ternyata aslinya lebih cantik dari yang di facebook. Nanti malam, on facebook ya, banyak yang ingin aku ceritakan.” Aku tak dapat berkata-kata dan hanya dapat menganggukan kepalaku dengan pelan. Setelah itu, senja seakan menemani setiap obrolan kami hingga akhirnya malam datang. Selalu bermula dari senja.
Di sekolah, Jum’at 14:00
Thanks God it’s Friday! Selain senja, aku juga menyukai jum’at. Tapi kali ini alasanku menyukai jum’at bukan karena Gevan. Aku sudah menyukai Jum’at jauh sebelum aku mengenal Gevan. Jum’at seakan memberi semangat tersendiri untuk menyongsong dua hari di mana dirimu bisa menhabiskan waktu sepanjang hari di kasur atau di mall. Kedua hal tersebut adalah favoritku.
Tinung… tinung..
Bunyi pesan masuk. Aku segera mengambil handphoneku yang aku letakkan di saku kemeja sekolah. Aku segera membuka kotak masuk dan aku mendapati pesan dari nomor yang belum tersimpan di kontakku. ternyata pesan tersebut dari Aliya. Dia memintaku untuk menemuinya sepulang sekolah di Blok M plaza. Aku sedikit cemas dengan apa yang ingin ia katakan. Aku tahu, ini pasti tentang hubungannya dengan Gevam, yang di mana aku terselip di dalamnya.
Blok m Plaza,
Setelah lama menunggu, akhirnya Aliya datang seorang diri tanpa ditemani Gevan. Firasatku semakin kuat, bahwa kali ini Aliya ingin membicarakan persoalan hubungannya.
“Sudah menunggu lama? Maaf tadi seminar yang aku ikuti ngaret dari jadwal yang semestinya.” Ucap Aliya yang langsung mengambil posisi bangku yang berhadapan denganku. Aku tak dapat berkata-kata dan hanya sanggup menganggukkan kepalaku perlahan.
Aku kembali meminum jus yang sebelumnya telah kupesan. Di antara kami tidak ada yang memulai obrolan. Aliya hanya sibuk membuka lembaran menu yang berada di atas meja. Akhirnya aku mencoba untuk membuka percakapan, karena jujur aku tidak ingin berada lebih lama bersama wanita ini. “Maaf, apa yang ingin kau bicarakan denganku?” ucapku sambil melontarkan sebuah senyuman kecil agar wajahku terlihat lebih ramah.
Setelah mendengar perkataanku, Aliya memandang mataku dari balik buku menu yang ia pegang dan menyunggingkan senyum di ujung bibir kanannya. “Sudah berapa lama berhubugan dengan Gevan?”
That’s right! Tebakkanku jitu. Gevan dan hubungan mereka, itu topik yang akan diperbincangkan. Aku mencoba menimbang-nimbang perkataan yang ingin kukeluarkan. “Emm, maksudmu? Aku dan Gevan hanya berteman biasa.”
“Teman curhat?” tanyanya dengan nada sinis yang membuatku semakin tidak nyaman berada di tempat itu.
“Iya. Kadang-kadang kita saling curhat masalah sekolah, keluarga atau hal lain. Tapi, kamu jangan salah sangka, itu hanya curhatan biasa.”
“Iya aku tahu. Itu Cuma curhatan biasa yang kadang membicarakan kebosanan Gevan denganku, perhatian yang saling kalian curahkan, dan curhatan yang hanya kalian berdua yang mengerti.”
“Tapi…” belum sempat aku berbicara, Aliya terus berbicara dan memotong kata-kataku.
“Dan sekarang, Selamat! Sepertinya tujuanmu untuk menghancurkan hubunganku dan Gevas sudah berhasil.”
“Maksudmu?”
“Aku dan Gevan sudah putus. Terimakasih sudah menjadi teman curhat buat Gevan, sudah membuat hubungan kami hancur karena celotehan-celotehanmu.”
Setelah berbicara dengan mata yang berkaca, Aliya meninggalkanku tanpa mau mendengar penjelasan dariku. Putus? Aku harusnya senang mengetahui mereka putus. Namun kali ini ada perasaan yang mengganjal ketika aku melihat mata wanita tersebut yang berkaca dan mimik wajahnya yang berusaha menahan air mata untuk tidak turun di pipinya.
Gevan belum menghubungiku. Biasanya, apapun yang terjadi dengan hubungannya, dia segera menghubungiku. Sampai akhirnya aku memutuskan untuk menghubunginya terlebih dahulu. Beberapa panggilan tidak dijawab. Mungkin saat ini dia sedang sibuk. Beberapa menit kemudian ada telepon masuk di handphoneku. Kali ini, Gevan yang menelponku.
“Halo, kenapa Shi? maaf tadi aku ada kelas pengganti kuliah.” Terdengar suara Gevan di ujung telepon.
“Lagi sibuk?” sebelum Gevan menjawab, Aku kembali melontarkan pertanyaan, “Kamu putus sama Aliya?” tanyaku dengan nada penasaran.
“Kok Kamu tahu? Aliya menghubungimu? Tapi aku tak pernah memberikan nomormu padanya.” Jawab Gevan dengan suara yang terdengar sedikit heran.
“Entahlah. Dia tadi menghubungiku dan kami bertemu siang tadi. Aku telah berusaha menjelaskannya, namun dia tidak ingin mendengarkanku. Bisa kamu tolong beritahu padanya bahwa di antara kita tidak ada hubungan apa-apa?”
“Kenapa? Kenapa aku harus menjelaskan kepadanya bahwa di antara kita tidak ada apa-apa? Shi, boleh ku telepon kembali nanti? Aku harus segera menyerahkan tugas ke dosenku.”
“Oke.” Kemudian Gevan menutup telepon terlebih dahulu. Nampaknya kali ini dia sedang sibuk.
Satu minggu telah berlalu. Gevan nampaknya serius dengan keputusannya untuk mengakhiri hubungan dengan Aliya. Kami berdua justru semakin dekat. Sehari yang lalu, aku menonton bioskop bersamanya. Di bioskop kami bertemu Tasya, yang merupakan sahabat Aliya. Tasya hanya melihat Gevan dengan sinis dan kemudian memalingkan pandangannya ke arahku dengan tatapan yang tak kalah sinis.
Jujur, aku tidak nyaman dengan pandangan Tasya terhadapku. Dia memandangku seperti melihat sesuatu yang mengerikan. Jika memang hubungan Gevan dan Aliya harus kandas, tentu saja itu bukan sepenuhnya salahku. Aku tak pernah berniat untuk menjadi penghancur. Kadang aku berpikir, seharusnya janganlah melihat suatu masalah hanya dari satu sudut pandang, karena setiap sudut memaparkan maksud yang berbeda. Dan di antara sudut-sudut tersebut, tidak ada yang sepenuhnya salah atau benar.
Semakin hari aku semakin berharap lebih pada Gevan. Setiap pesan dan perhatian yang ia curahkan, semakin membuatku yakin dengan perasaanku yang akan terbalas olehnya. Namun kali ini, aku berusaha untuk menghubunginya dan dia masih sulit untuk dihubungi. Sejak kemarin aku seperti kehilangan akal untuk menghubunginya. Rasa rindu yang menggebu di dada, semakin membuatku berusaha untuk menghubunginya. Namun nomor ponselnya masih belum aktif. Facebooknya-pun masih dalam keadaan non-aktif dan memang tidak ada aktivitas terbaru di akunnya.
Sebenarnya aku ingin mengajaknya untuk menghabiskan waktu di mall. Hari ini aku merasa bosan. Namun karena dirinya belum bisa kuhubungi, maka kebosananku terpaksa aku lampiaskan untuk bermain facebook. Aku memainkan permainan yang tersedia di facebook dan terkadang memerhatikan aktivitas di berandaku.
OH MY GOD!!! Skrol mouseku seakan macet dan tak dapat kuarahkan ke arah lain. Aku melihat aktivitas terbaru dari Aliya di facebooku. Aliya Amandita. Aku tak ingat sejak kapan aku ternyata sudah berteman dengannya di facebook. Darahku seakan berhenti, leherku tercekik, dan lututku terasa copot. Lemas, lesu, dan sulit bernapas. Aku sulit mengatur keseimbanganku, namun aku harus tetap bertahan untuk melihat sebuah foto yang baru saja diunggah Aliya. Dalam foto tersebut hanya terlihat sebuah kartu ucapan yang di dalamnya bertuliskan kata-kata yang hampir membunuhku
Dear, My Love (Aliya Amandita)
Happy Birthday to my beloved girl.
Aku akan selalu mencintaimu sampai kapanpun..
Maaf atas air mata yang telah kau jatuhkan.
Aku tak berniat membuat sendu di pipi meronamu.
But, it’s just a simple surprise from me
I’ll always love you
With Love,
-Gevan Radjata-
Apa maksud dari semua ini? Apa ini hanya rekayasa dari Gevan agar Aliya tidak merasa sedih di hari ulang tahunnya? Aku tak mengerti. Benar-benar tak mengerti. Aku diam sejenak dan kemudian kembali membaca postingan Aliya tersebut.
Aku melihat beberapa percakapan antara Tasya, sahabat Aliya dengan Aliya.
Tasya: “Happy Birthday Aliya. Aku gak nyangka Gevan bisa memberi kejutan diluar dugaanku. Dia sampai berpura-pura berpaling darimu dan ternyata itu hanya rekayasanya.”
Aliya: “Sampai saat ini aku pun masih gak percaya. Saat aku putus dengannya, seakan duniaku berhenti. Namun itu hanya cara Gevan untuk memberikanku kejutan. Thanks God, aku semakin cinta dengannya.”
Apa? Ini semua cara Gevan memberikan Aliya kejutan? Aku masih tak percaya. Aku pun berusaha menghubungi Gevan. Namun, aku tidak bisa menghubunginya lagi. Aku merasa kejutan ini lebih diperuntukkan untukku. Aku terkejut, sangat terkejut sampai aku hanya bisa membaca tiap aktivitas facebook Aliya yang sedang meng-upload foto ulangtahunnya bersama Gevan.
Tanpa ku sadari, air mata perlahan jatuh di pipiku. Sakit. Hatiku sungguh sakit. Mengapa jika kau ingin memberikan Aliya kejutan, kau tidak memberitahuku lebih dulu? Hingga aku tak perlu menaruh harapan kepadamu.
Cinta bisa datang dengan sederhana
Sesederhana cara Tuhan mempertemukan aku dan dirimu
Cinta bisa tumbuh dengan cara yang sederhana
Sesederhana aku menjatuhkan hati padamu
Cinta bisa terluka dengan sederhana
Sesederhana caramu melukaiku
Sederhana…
Dan tak pernah bisa kutahu
-Mirantika Sashi-

SHARE ON:

Hello guys, I'm Tien Tran, a freelance web designer and Wordpress nerd. Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque laudantium, totam rem aperiam, eaque ipsa quae.

    Blogger Comment

0 komentar:

Posting Komentar